Underneath the Stars oleh D. Wijaya

D. Wijaya
Underneath the Stars
nulisbuku
322 halaman
8.0

Blurb
Drew Olson tidak punya teman. Ia bukannya antisosial. Ia cuma merasa tidak pantas berada di lingkaran mana pun karena sementara orang lain punya banyak hal yang bisa dibagi, semua yang ia punya hanyalah mimpi-mimpi buruk.

Ketika Drew memutuskan untuk pergi ke sekolah asrama Walters (untuk memperbaiki kehidupan sosialnya yang mengenaskan), ia tidak mengira akan bertemu dengan Noah Mitchell yang menurutnya sedikit terlalu optimistis. Noah mengajak Drew untuk melihat dunia dengan cara yang berbeda. Noah juga memberinya pelajaran berharga: bahwa menjadi bahagia adalah pilihan.

Namun, saat Drew mulai memilih untuk bahagia, ketakutan terbesarnya sekonyong-konyong merapat dan menghantuinya. Mimpi buruknya datang bahkan saat ia terbangun. Dunianya perlahan-lahan tenggelam ketika orang-orang mulai menyadari luka apa yang ia coba sembunyikan selama ini.

Dan sementara ia tenggelam semakin dalam, Drew mulai bertanya-tanya, akankah ia merasa bahagia lagi?

Review
Sama seperti karya seni, buku yang bagus seharusnya membuat pembacanya merasakan sesuatu. Bukan perasaan ngamuk-ngamuk ketika pembaca mengomel, "Ini kenapa jalan ceritanya seperti ini, sih?", tetapi lebih ke perasaan yang timbul saat ia tenggelam ke dalam jalan cerita yang dibuat dan mampu merasakan apa yang para karakternya rasakan. Saat karakternya marah, pembaca juga sanggup merasakan kemarahan; saat karakternya sedih, pembaca juga mampu merasakan apa yang karakternya. Sama seperti yang Wijaya lakukan di Above the Stars, karya terbarunya yang diterbitkan secara independen di nulisbuku ini juga sanggup membuat pembacanya merasakan apa yang karakter-karakternya alami--hanya dengan intensitas yang jauh lebih dahsyat. Dan itu, tentu saja, bukan kemampuan yang mudah. 

Namun, Wijaya menuliskannya seakan-akan tanpa usaha sejak halaman pertama ia mengenalkan karakter Drew Olson, seorang remaja tujuh belas tahun, asosial, penyendiri dan tak punya teman. Ketika ia disuruh oleh paman dan bibinya untuk pindah ke asrama agar terpapar dengan lebih banyak manusia, Drew mengalah hanya untuk membuat keduanya bungkam. Namun, saat ia bertemu dengan Ethan, teman sekamarnya, yang sangat nyeleneh dan teman-temannya, Drew mulai membuka dirinya. Hingga Noah Mitchell datang, dan Drew Olson tiba-tiba harus menghadapi semua ketakutan dan rahasia tergelapnya sendirian. 

Di tengah-tengah karakter yang jago melawak, Drew terasa seperti seorang straight man yang gay--sorry, no pun intended--yang berusaha keras menjaga kewarasannya di tengah-tengah karakter yang sinting. Paman dan Bibi yang kekanak-kanakan dan suka mempertaruhkan keputusan hidup Drew, Ethan yang suka memakai piama ke kelas, Noah yang memiliki stok optimisme yang berlebihan saat pembagian jatah optimisme di surga, dan Kelly yang mungkin ketinggalan saat pembagian optimisme. Karakter-karakter dalam Underneath the Stars terasa hidup, nyata, dan lucu. Saya tak akan terkejut jika suatu saat nanti saya akan melihat serial televisi dengan karakter-karakter ini, dan saya akan menyenangkan seperti ini, tipe karakter yang keluar dari buku-buku john Green, quirky dan eksentrik. 

Dan bicara soal John Green, tidak bisa dimungkiri membaca Underneath the Stars mengingatkan akan mahakarya terbaik John Green, Looking For Alaska (bye The Fault in Our Stars). Atmosfer keduanya beresonansi, mulai dari kedatangan di asrama baru, kejailan-kejailan yang dilakukan oleh Drew dan Miles bersama dengan teman-teman mereka, atmosfer cerita yang perlahan-lahan berubah menjadi portentous di akhir cerita, hingga mungkin sampai ke konflik klimaksnya. Bukan hal yang buruk, tentu saja, dan meskipun Looking For Alaska adalah buku john Green yang paling saya sukai, ketika saya membuka lembar demi lembar dari Underneath the Stars, saya mulai merasakan keduanya sedikit berbeda. Selain tentu saja ini kisahgay romantis, Underneath the Stars juga mengangkat tema yang jauh lebih gelap. 

Kalimat-kalimat yang Wijaya tulis terasa indah dan deskriptif, dialog-dialog karakternya whitty, dan terasa sangat terjemahan. Latar ceritanya yang cukup kuat, meskipun sekolah-sekolah Amerika, baik boarding maupun tidak, jarang sekali yang mempunyai jadwal pelajaran setiap seminggu sekali (kebanyakan jadwal mereka sama setiap hari sepanjang semester, atau dengan menggunakan sistem dua-hari-sekali), membuat Underneath the Stars terasa sangat realistis, and it's not an easy feat

Underneath the Stars barangkali ditulis sebelum Above the Stars, tetapi Underneath the Stars jauh lebih emosional daripada Above the Stars, bukti bahwa Wijaya terus berkembang. Dan karena sekarang sudah terlampau nanggung, bisakah kita mendapat Between the Stars sebagai pamungkas dari seri Stars ini? Please?

Previous
Next Post »